Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II (kelak disebut sebagai Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran II atau Sunan Pandanaran Bayat atau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran saja). Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang. Seiring dengan jatuhnya Pajang ke tangan Kesultanan Mataram, wilayah Semarang masuk dalam wilayahnya.
Pada tahun 1906 dengan Stadblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Wali kota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangnya pemerintahan pendudukan Jepang.
Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang dikepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Perjuangan ini dikenal sebagai Pertempuran Lima Hari.
Tahun 1946 Inggris atas nama Sekutu menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda. Ini terjadi pada tanggal 16 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihat, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, wali kota Semarang sebelum proklamasi kemerdekaan. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada pemerintahan daerah kota Semarang. Namun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian di luar kota sampai dengan bulan Desember 1948. daerah pengungsian berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R. Patah, R. Prawotosudibyo dan Mr. Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti pada masa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. tanggal I April 1950 Mayor Suhardi, Komandan KMKB. menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri di Yogyakarta. Ia menyusun kembali aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya pemerintahan.
Product ID | 698 |
---|---|
Size (cm) |
|
Weight (kg) | 0.25 |