Size : 120 x 120 ULTRAFINE : 225rb
*ringan lembut nyaman, adem, tdk gampang kusut
Size : 120x120 HERMESSILK : 325rb
*ringan dan 100% organik nyaman ademmm dan mewah karena
semi shine.
Garebeg merupakan salah satu upacara yang hingga saat ini rutin dilaksanakan oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kata Garebeg, memiliki arti diiringi atau diantar oleh orang banyak. Hal ini merujuk pada Gunungan yang diiringi oleh para prajurit dan Abdi Dalem dalam perjalanannya dari keraton menuju Masjid Gedhe. Dalam pendapat lain dikatakan bahwa Garebeg atau yang umumnya disebut “Grebeg” berasal dari kata “gumrebeg”, mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat berlangsungnya upacara tersebut.
Besar kemungkinan bahwa Upacara Garebeg berasal dari tradisi Jawa kuno yang disebut Rajawedha. Pada upacara tersebut raja akan memberikan sedekah demi terwujudnya kedamaian dan kemakmuran di wilayah kerajaan yang dipimpinnya. Tradisi sedekah raja ini awalnya sempat terhenti ketika Islam masuk di Kerajaan Demak. Akibatnya masyarakat menjadi resah dan meninggalkan kerajaan yang baru berdiri tersebut. Melihat gejala demikian, Wali Songo yang menjadi penasehat Raja Demak kemudian mengusulkan agar tradisi sedekah atau kurban oleh raja tersebut dihidupkan kembali. Akan tetapi, kali ini upacara yang berasal dari tradisi Hindu tersebut dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi sarana penyebaran agama Islam.
Sejak periode Demak, upacara sedekah raja yang kemudian dijadikan sarana syiar Islam tersebut dikenal dengan nama Sekaten. Ada yang mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang merupakan kesaksian untuk memeluk agama Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati” yang merujuk kepada dua perangkat gamelan keraton yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Tidak berhenti sebatas untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad, Kerajaan Demak juga menggelar upacara serupa untuk menandai berdirinya Masjid Demak yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Sejak saat itu tradisi sedekah raja ini berlangsung tiga kali setahun, termasuk untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri.
Berawal dari Demak, Kerajaan Islam di Jawa berikutnya tetap memelihara tradisi sedekah raja tersebut. Di Yogyakarta, tiga kali dalam setahun, upacara tersebut digelar dengan nama Garebeg Mulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Garebeg Mulud digelar pada tanggal 12 Rabiul Awal (Mulud) untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Garebeg Sawal digelar pada tanggal 1 Sawal untuk menandai berakhirnya bulan puasa, dan Garebeg Besardilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijah (Besar) untuk memperingati Hari Raya Idul Adha.
Selain bernuansa syiar Islam, dahulu kala Upacara Garebeg juga mempunyai nuansa politik. Garebeg bisa dikatakan sebagai upacara terbesar yang diselenggarakan keraton. Pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, para Bupati Manca Negara diwajibkan hadir di Ibukota kerajaan sebagai tanda bukti kesetiaannya terhadap Sultan. Ketidakhadiran para bupati tersebut dapat diartikan sebagai simbol perlawanan, seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga Prawirodirjo III dari Madiun terhadap Sri Sultan Hamengku Buwono II. Bukti lainnya bahwa Garebeg merupakan upacara terbesar di masa lalu adalah dikeluarkannya protokol terhadap Residen Belanda dan pejabat-pejabat kerajaan yang hadir dalam upacara tersebut. Selain itu, pada Upacara Garebeg, Sultan berikut benda-benda yang menjadi simbol kebesarannya (Ampilan Dalem) keluar dari Bangsal Kencana menuju Sitihinggil untuk disaksikan oleh seluruh masyarakat.
Pada waktu berlangsungnya Upacara Garebeg, sebagai puncak acara adalah dikeluarkannya sedekah raja berupa Gunungan. Gunungan dalam Upacara Garebeg mempunyai makna dan filosofi tersendiri. Gunungan terbuat dari hasil bumi seperti palawija, buah dan sayur-sayuran, serta jajanan. Gunungan ini merupakan perwujudan rasa syukur atas melimpahnya hasil bumi dari wilayah kerajaan, dan kemudian dibagikan untuk kesejahteraan rakyat.
Gunungan yang disiapkan Keraton Yogyakarta pada Upacara Garebeg dewasa ini ada 5 jenis. Kelima gunungan itu adalah Gunungan Kakung, Gunungan Putri, Gunungan Darat, Gunungan Gepak dan Gunungan Pawuhan. Jumlah Gunungan yang dikeluarkan setiap tahun sangat beragam tergantung situasi dan kondisi. Biasanya Gunungan Kakung akan dibuat lebih dari satu. Apabila Garebeg yang diselenggarakan pada Bulan Muludbertepatan dengan Tahun Dal (satu kali dalam 8 tahun menurut kalender Jawa), maka harus ditambahkan lagi satu Gunungan, yaitu Gunungan Bramaatau Gunungan Kutug.
Sumber : Wikipedia