Menurut Puger (2002), awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak[2]. Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman.
Tradisi arak-arakan semacam sekaten, menurut satu cerita rakyat yang digali oleh Saddhono, telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari "wahyu" kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali Sanga.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju masjid Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari Masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Numplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16.00. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi), dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludannantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Numplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.
Product ID | 700 |
---|---|
Size (cm) |
|
Weight (kg) | 0.25 |